[Empat] Sepi dan sendiri

Penang adalah kota yang rapi dan menyenangkan. 

Saya berkenalan dengan warga lokal yang bersedia menemani saya berkeliling kota. Saya mengunjungi Botanical Garden, mencicipi es kacang merah yang terkenal, cemilan sambosa, dan melihat bangunan-bangunan peninggalan zaman kolonial. Inggris yang kala itu menduduki Malaysia tampaknya pergi dengan meninggalkan bangunan-bangunan yang eksotik. Seperti halnya Belanda meninggalkan kota tua yang menawan di pusat kota Jakarta.

Di Penang saya tidak menemukan sesuatu yang asing. Selain melihat-lihat pemandangan, saya lebih menghabiskan waktu untuk jajan dan berbincang bersama teman baru yang juga adalah warga lokal. Kami tidak terlibat dalam sebuah pembicaraan yang kritis ataupun substansial. Mungkin karena sama-sama terlahir sebagai orang Asia, jadi entah mengapa saya merasa pola pikir kami memiliki banyak kemiripan. Kami masih memandang hal-hal tertentu yang mungkin tabu untuk dibahas.

Selesai dari Penang, saya berangkat ke Langkawi.

Di pulau yang menyenangkan inilah semuanya berawal. Kesan pertama saya, Langkawi hampir mirip dengan Bali. Dia memiliki pantai yang indah, namun tidak dengan budaya yang sekental masyarakat Bali. Di pulau inilah saya mendapat pembelajaran dan bertemu banyak orang dari berbagai latar belakang negara yang berbeda, dengan pola pikir yang berbeda-beda pula. Saya baru menyadari betapa pentingnya pengalaman tersebut bertahun-tahun kemudian. 

Hari pertama tiba di Langkawi sebenarnya saya dirundung rasa sepi yang hebat. Saya tidak memiliki kenalan dan tidak memiliki agenda perjalanan yang jelas. Kalau biasanya mulut ini selalu berceloteh dan tertawa, sekarang mulut ini seperti kram karena tidak adanya lawan bicara. 

Saya menginap di penginapan yang berdekatan dengan tepi pantai. Menyewa kamar yang minimalis dan tidur seorang diri. Di sinilah untuk pertama kalinya saya merasakan sepi. Sepi bukan karena tidak ada orang di sekitar saya, melainkan karena situasi, lingkungan, orang-orang sekitar yang berbicara, atmosfer yang ada, semuanya terasa asing. 

Saya berada jauh dari rumah.

Berkaca ke belakang, hidup saya selalu penuh dengan kebisingan. Bangun pagi sudah memikirkan kerjaan, siap-siap berangkat ke kantor, kerja, ngopi-ngopi, salat ala kadarnya, pulang ke rumah istirahat, nonton TV, tidur, besoknya begitu lagi. Selalu ada saja yang dikerjakan. Bising. Sungguh bising.

Tapi kemudian, saya justru kaget ketika kebisingan itu hilang.

Saya lahir dan besar di lingkungan yang padat di Jakarta. Menjalani rutinitas pekerja kantoran yang selalu sibuk dengan perkara mencari uang dan berpikir keras untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di kantor. Pikiran saya selalu dipenuhi kesibukan antara untuk mencari nafkah atau bersenang-senang.

Makanya, saya tidak mengenal sepi. 

Sekarang rasa sepi itu muncul memperkenalkan diri. Saya memandangi langit-langit kamar, bertanya-tanya, “Apa sebenarnya yang sedang saya lakukan di sini?”

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *