[Tiga] Menuju China

Meskipun begitu, saya tidak patah semangat. Di sela-sela rutinitas sebagai pekerja kantoran, diam-diam saya tetap membangun cita-cita untuk menjadi penulis. Mulai dari membentuk kerangka, membuat karakter, memulai tulisan, dan lain sebagainya. Ide yang sederhana mulai tumbuh dan berkembang menjadi kompleks.
Sampai kemudian di pertengahan 2011, saya dan seorang teman, Mustofa, berhasil mendapatkan tiket promo AirAsia. Maskapai penerbangan AirAsia ketika itu sedang banyak menawarkan promo untuk penerbangan murah tujuan internasional. Saya yang dalam kondisi punya uang dan haus petualangan, tidak ambil pusing dengan membeli salah satu tiket untuk penerbangan ke Tianjin, Cina.
Tiket itu untuk keberangkatan Februari 2012.
Saya tidak membeli tiket pesawat pulang karena belum tahu akan berapa lama saya traveling di Cina. Bahkan sempat ada obrolan kami ingin mencoba jalur darat untuk perjalanan pulang ke Indonesia. Sejak adanya tiket keberangkatan tersebut, sedikit banyak saya mulai memikirkan apa yang akan terjadi pada karir saya ke depannya. Jika saya ingin menjadi penulis, haruskah saya berhenti bekerja sebagai karyawan kantoran?
Tanpa terasa setengah tahun berlalu, dan waktu keberangkatan pun nyaris tiba.
Saya mengajukan pengunduran diri sebulan sebelum keberangkatan. Ketika orang-orang mengundurkan diri untuk mengganti pekerjaan, mencari tantangan demi jenjang karir yang baru, saya mengajukan pengunduran diri karena ingin jalan-jalan ke negeri orang.
Saya sempat menceritakan rencana saya tersebut ke beberapa teman dekat.
Seorang teman yang suka solo traveling sempat bilang, “Lo bakal ngerasain solitude, Men. Biasa obatnya cuma dua, entah lo mabok atau tidur,” kelakarnya.Saya hanya cengengesan, karena ketika itu saya tidak tahu apa-apa tentang solitude.
Saya mengenal traveling bukan sebagai perkara untuk healing atau flexing seperti yang umumnya dilakukan orang sekarang ini. Rasanya, pada 2012 itu traveling masih menjadi sesuatu yang kurang diminati karena mahal dan mungkin terkesan tidak banyak manfaat. Saya pun ketika itu masih menjadi manusia yang lugu, yang tidak banyak memahami hidup selain untuk bekerja dan bersenang-senang. Kalau pun saya punya ilmu, ilmu itu hanyalah seputar dunia kerja dan teknologi. Selain dari itu? Akal sehat saya masih tertidur–sekalipun saya sudah berusia 25 tahun.
Apakah hanya karena kita sudah memiliki karir yang cemerlang dan keluarga yang sempurna, itu berarti akal sehat kita sudah membelalak? Oh, belum tentu.
Perjalanan saya ke Malaysia dan Cina kala itu membuka satu pemahaman baru bagi saya. Saya jadi mengerti pentingnya berpikir kritis terhadap kepercayaan yang saya anut. Sekalipun saya merasa kepercayaan tersebut sudah yang paling benar.
Selain dari itu, ini adalah pertama kalinya saya melakukan traveling seorang diri.
Pertama-tama, saya akan berkunjung ke Malaysia selama 10 hari. Saya singgah di Penang untuk 3 hari, sebelum kemudian berlanjut ke Langkawi selama 7 hari sisanya. Lalu di hari ke 10, saya akan bertemu dengan Mustofa di Kuala Lumpur. Untuk kemudian bersama-sama kami berangkat ke Tianjin yang berada di tanah daratan Cina. Saya harus ke Malaysia lebih dulu karena ketika itu tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Tianjin. Tiket promo itu pun memang untuk keberangkatan dari Kuala Lumpur.
Mengingat ini bukan catatan perjalanan seperti yang ditulis Agustinus Wibowo dalam Selimut Debu atau Trinity dalam Naked Traveler, maka harap maklum kalau saya tidak akan menceritakan secara rinci terkait apa-apa saja yang saya lakukan atau temukan selama solo traveling–seperti rekomendasi tempat wisata, makanan lokal untuk dicicipi, penginapan terbaik, atau yang lainnya. Tapi, saya juga ingin pembaca tahu, bahwa solo traveling inilah yang salah satunya kemudian mengambil peran besar dalam mengubah cara pandang saya melihat hidup dan dunia.